METODE PENELITIAN GROUNDED THEORY


Grounded theory merupakan salah satu jenis metodologi riset sosial yang menekankan pada pendekatan kualitatif. Grounded theory pada perkembangannya sering kali dipahami sebagai grounded research atau penelitian grounded, sehingga definisinya sebaiknya tidak disetarakan dengan definisi teori dalam ilmu sosial yang lain, seperti misalnya teori fungsionalisme atau teori konflik.


Pengertian grounded theory

      Grounded theory memiliki titik berat pada riset kualitatif. Riset yang mengaplikasikan grounded theory disebut penelitian grounded. Penelitian grounded merupakan sebuah metodologi riset atau bias juga dipahami sebagai sebuah pendekatan penelitian dimana data lapangan menjadi sumber formulasi teori. Dengan kata lain, penelitian ini menggunakan teori yang muncul kemudian, disaat atau setelah data lapangan dikumpulkan.
         Untuk lebih jelasnya, saya akan uraikan secara singkat latar belakang kemunculan metode penelitian grounded agar pembaca memahami dimana letak perbedaannya dengan metode riset yang lain. Riset sosial yang berkembang belakangan, sering kali menggunakan grand theory atau teori-teori besar yang sudah matang sebagai perspektif atau paradigma penelitian. Grand teory dalam sosiologi ada berbagai macam, sebut saja teori konflik dan fungsionalisme, misalnya.
        Penerapan grand theory pada proses penelitian cenderung akan menghasilkan studi yang sifatnya verifikatif. Artinya, penelitian dilakukan untuk menguji teori yang sudah ada sebelumnya. Penelitian sosial statistik dan survey yang menggunakan hipotesis dianggap sebagai contoh baguis studi verifikatif. Model penelitian semacam itu berakibat pada munculnya ”stagnansi teori” dalam ilmu sosial. Konsekuensinya, ilmu sosial tidak dapat berkembang.

        Grounded theory atau penelitian grounded merespons kondisi tersebut dengan membalikkan logika penelitian yang berkembang. Dalam penelitian grounded, teori atau grand theory “ditinggalkan” oleh peneliti. Peneliti mengumpulkan data lapangan yang biasanya dalam bentuk kualitatif melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatoris.
         Data tersebut menjadi dasar pembentukan teori. Dengan kata lain, teori berasal dari data di lapangan (on the ground). Oleh sebab itulah disebut grounded. Penelitian grounded membuka potensi lahirnya teori-teori baru karena data lapangan bersifat dinamis dan terus berkembang, Sedangkan teori yang sudah mapan cenderung tetap.
        Adapun klaim bahwa penelitian sosial yang bersifat verifikatif terhadap teori seperti riset survey atau statistik juga berpotensi menghasilkan teori baru. Namun teori baru tersebut bukan berasal dari data lapangan yang dinamis, melainkan dari data statistik yang statis.
         Dalam riset grounded, peneliti mengembangkan konsep-konsep yang nantinya menjadi teori di lapangan. Dari awal sampai akhir penelitian, peneliti harus terlibat secara penuh dan berada di lapangan. Berbeda dengan riset survey yang bahkan bisa dilakukan tanpa sekalipun peneliti ke lapangan.

Contoh penelitian grounded

           Pada perkembangannya, metode penelitian grounded banyak diaplikasikan pada riset-riset antropologis. Salah satu buku yang dikutip sebagai contoh oleh Masri Singarimbun dan Sofian Effendi dalam “Metode Penelitian Survey” tentang penelitian grounded adalah buku berjudul ”Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh: Hasil-hasil Penelitian dengan Metode Grounded Research”, editan Alfian dkk.
       Dalam pengantarnya dijelaskan bagaimana metode penelitian grounded diterapkan. Sebagaimana sudah disampaikan di awal, peneliti turun ke lapangan tanpa membawa teori yang sudah dibaca dalam literatur. Peneliti melakukan observasi partisipatoris serta wawancara mendalam untuk mengumpulkan data lapangan.
          Ketika di lapangan itulah, konsep-konsep dikembangkan. Dalam mengembangkan konsep, peneliti tetap tidak mengaplikasikan teori yang sudah eksis sebelumnya sebagai kerangka berpikir. Konsep yang dibangun selama di lapangan tak jarang masih mungkin berkembang ketika data baru diperoleh.
        Sebagai contoh, Cliffort Geertz pernah membangun teori tentang masyarakat muslim Jawa yang terbagi menjadi kelas priyayi, santri dan abangan. Ketika saat ini kita ingin melakukan penelitian grounded tentang masyarakat muslim di suatu desa di Jawa, kita tidak perlu menerapkan klasifikasi yang dibuat oleh Geertz tersebut. Melainkan, kita harus melihat data lalu memunculkan konsep sebagaimana data tersebut berbicara.
        Sangat mungkin klasifikasi yang dicetus oleh Geertz tidak relevan untuk situasi sosial yang khas dari masyarakat yang kita teliti, bahkan sekalipun kita melakukan penelitian di desa yang sama dengan yang diteliti Geertz. Hal ini karena situasi sosial bersifat dinamis, berkembang, dan terus berubah.

Komentar